Di antara sekian bidang kajian yang diminati banyak orang dalam manajemen,
kepemimpinan termasuk salah satu bidang yang banyak diminati. Ia juga sudah
dibicarakan sepanjang hidup manusia. Kendati demikian, tetap saja ada sisi-sisi
misterius dalam dunia kepemimpinan.
Di banyak kesempatan, entah sebagai konsultan, pembicara publik maupun CEO, tidak ada satupun masalah yang tidak terkait dengan masalah kepemimpinan. Ibarat semen dalam bangunan, ia merekat hampir semua unsur bangunan. Siapapun yang tidak awas di sektor kepemimpinan, ia akan memiliki bangunan (baca : organisasi) yang keropos.
Di banyak perusahaan keluarga yang saya tahu, dinamika yang terjadi di tingkat pemilik, menghabiskan lebih dari delapan puluh persen energi organisasi. Lebih-lebih kalau semen kepemimpinannya lemah, maka keruntuhanlah yang sering menjadi ending story.
Sadar akan semua ini, banyak orang menyimpan keingintahuan amat tinggi akan kepemimpinan. Sayapun demikian. Lebih-lebih sebagai CEO, kepemimpinan adalah menu sarapan pagi, menu makan siang serta menu makan malam. Dan perjalanan saya sejauh ini bertutur, kepemimpinan bukanlah sejenis mahluk yang bisa kita peroleh hanya dengan membaca, mendengar cerita atau menonton video. Ia lebih mendekati proses yang terjadi dalam diri setiap orang, tidak bisa didelegasikan, dan menuntut kedalaman refleksi yang tidak tanggung-tanggung.
Sudah lama saya mengenal sejumlah pendekatan kepemimpinan. Dari pendekatannya Hersey-Blanchard, Drucker, Kanter, Bennis sampai dengan kepemimpinan timur seperti Sun Tzu, Morihei Ueshiba sampai dengan Mahatma Gandhi. Semuanya menarik, reflektif dan menggugah pemikiran lebih lanjut. Hanya saja, sebagus dan secantik apapun wacananya, kehadiran teori dan pendekatan yang datang dari orang lain, hanya menghadirkan pembanding saja. Ia memperluas dan menambah wawasan, namun tidak otomatis meningkatkan kualitas kepemimpinan.
Berkaitan dengan kualitas terakhir, ia lebih terkait dengan kedalaman refleksi setiap orang di tengah lumpur-lumpur praktek yang kotor. Di tingkat kepemimpinan yang tinggi, praktek memang sebagian kotor. Intrik, isu, surat kaleng, saling menjatuhkan, adalah sebagian dari bentuk-bentuk kotornya lumpur praktek. Siapapun yang menghendaki kualitas kepemimpinan, ia sebaiknya pernah lewat dari lumpur-lumpur tadi.
Menyakitkan memang. Bahkan bisa menimbulkan berbagai penyakit yang berkaitan dengan stres. Apapun dan berapapun harganya, ia tetap menjadi persyaratan yang sebaiknya dibayar oleh siapapun yang mau menikmati kualitas kepemimpinan. Setidaknya, demikian kehidupan banyak orang dan kehidupan saya bertutur.
Kendatipun menyakitkan, lumpur-lumpur praktek tadi menghadirkan keterpaksaan reflektif. Sebentuk keterpaksaan positif yang bisa membawa banyak orang ke tangga kepemimpinan yang lebih tinggi. Ini juga yang beberapa kali hadir dalam kehidupan saya. Di tengah-tengah kesedihan dan kepahitan lumpur tadi, kerap saya bertanya : siapakah wajah di balik wajah yang kita temukan di cermin setiap hari ? Pertanyaan ini muncul teramat sering, karena kerap wajah ini mengundang banyak sekali dan berbagai macam respon orang lain. Beragam memang, namun sering kali mengejutkan, serta di luar kehendak dan niat kita. Berniat baik, direspon buruk. Agak santai sedikit, hasilnya mengagumkan. Dan berbagai macam variasi lainnya.
Di balik wajah yang kita tampilkan di depan semua orang setiap hari, sebenarnya ada wajah yang tidak kelihatan oleh mata. Namun, terlihat oleh mata yang lain (baca : sang hati). Kalau saja, banyak orang yang bisa melihat wajah di balik wajah, kemudian berkomunikasi dengan wajah tadi, kualitas kepemimpinan bukanlah sesuatu yang teramat sulit untuk ditemukan. Ia sudah ada di sini, di dalam diri kita masing-masing.
Coba bayangkan keadaan seperti ini. Ada orang yang membenci Anda, kemudian di hari lebaran orang tersebut Anda datangi dan bawakan hadiah berguna. Bukankah ada yang berubah dalam wajah Anda sendiri ?. Atau, tiba-tiba ada orang menelpon mengucapkan terimakasih karena Anda pernah membantunya dulu – padahal sudah lama tidak ingat. Bukankah wajah Anda di cermin berubah ? Demikian juga sebaliknya. Dulu, ketika pertama kali kita mencoba berbohong, atau mencuri, bukankah wajah di cermin berubah ketakutan ?
Ini semua menghadirkan bukti, bahwa wajah kita yang sebenarnya – dalam arti yang betul-betul mempengaruhi kualitas kepemimpinan – bukanlah wajah yang kita lihat di cermin. Namun, wajah yang berada di balik wajah tadi.
Mirip dengan mata yang ada di balik mata, telinga yang ada di balik telinga, serta rasa yang ada di balik rasa. Semuanya memerlukan kepekaan, refleksi, ketekunan berkomunikasi, serta keheningan. Sarananya ada banyak sekali. Kebetulan, saya menggunakan kendaraan yang bernama meditasi. Perjalanan komunikasi bertemu wajah di balik wajah, memang perjalanan yang amat unik. Kendati kendaraannya sama, tempat dan waktunya sama, tetapi sangat mungkin bertemu perjalanan dan wajah yang berbeda.
Ia seunik sidik jari. Berbeda dari satu orang ke orang lain. Namun seunik apapun dia, ada semacam kedamaian, keheningan, kebersatuan dua wajah, yang ujung-ujungnya berkaitan erat dengan kualitas kepemimpinan. Anda tertarik ?
Gede Prama