Rabu, 23 Desember 2015

Hidup dengan "Anggapan"

Berbagai upaya dilakukan dan diupayakan manusia dalam hidup ini agar di anggap sebagai orang baik, orang adil, orang kaya, dan lain sebagainya. Tidak sedikit dari mereka mengorbankan hal-hal yang sebenarnya jauh lebih berharga dan lebih penting dari apa yang dimilikinya, daripada hanya sekedar untuk memperoleh "pengakuan" itu.

Mereka rela berangkat pagi pulang pagi untuk memperoleh kekayaan sebanyak banyaknya, karir yang cemerlang, kehormatan dan pengakuan orang di sekelilingnya, walaupun harus mengorbankan keluarga, mengorbankan perkembangan pertumbuhan anak-anaknya, demi sebuah anggapan dari orang lain bahwa dia orang kaya, orang sukses, pangkatnya tinggi, orang terhormat, orang adil, orang berhati mulia dan lain sebagainya.

Persepsi orang sukses dari sebagian besar manusia ini memang masih milik mereka yang punya rumah mewah, punya mobil mewah, dan punya jabatan tinggi. Tanpa memiliki itu semua, tidak ada yang menyebut sebagai orang sukses. 

Bahkan di masyarakat kita sendiri pun orang akan dihormati ketika pakaian yang dipakai, mobil yang yang dikendarai dan segala hal yang menempel dalam tersebut adalah barang mahal.

Kondisi sebaliknya pun terjadi, yaitu ketika seseorang dengan pakaian sederhana, cukup hanya jalan kaki atau naik kendaraan umum juga diperlakukan oleh umunya masyarakat sebagai kaum marginal yang kurang diakui keberadaannya di masyarakat. 

Pun dia banyak melakukan hal terpuji di masyarakat, banyak membantu sesama, dan terlibat dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, namun tetap saja tidak mendapat pengakuan dari umumnya masyarakat, hanya karena yang bersangkutan kurang mampu, hanya orang biasa, dan tak memiliki pangkat dan kedudukan.

Hal yang lebih parah lagi adalah persepsi ini diwariskan ke anak-anak nya, sehingga di kalangan remaja, anak-anak juga dalam hal menghormati sesama juga kurang lebih sama dengan orang tuanya, bahkan lebih parah. Ditambah dengan kondisi sekarang dimana anak-anak, remaja bahkan orang dewasa lebih asik dengan dirinya sendiri dan telepon selulernya, apapun yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi keinginannya dengan mudah di dapat di internet, group chat lewat telepon selulernya. 

Ditambah lagi banyaknya informasi sampah yang cenderung fitnah, informasi yang belum ter klarifikasi, menghasut demi kepentingan tertentu, dan dengan kondisi tingkat kemampuan pemahaman yang berbeda-beda, sehingga makin memperumit keadaan.

Tentu saja berbagai "Anggapan" masyarakat yang terbentuk dari berbagai informasi yang belum tentu kebenarannya, makin menumbuhkan berbagai anggapan baru yang makin jauh dari fitrah manusia yang sebenarnya yang diajarkan oleh agama. Dalam agama Islam yang penulis anut, sudah sangat jelas dan gamblang dijelaskan bagaimana kita sebaiknya kita menjalani kehidupan ini, bagaimana kita harus bersosialiasi dengan masyarakat sekitar, bagaimana kita wajib saling menghormati, bagaimana kita harus selalu mengacu kepada Al Qur'an dan Hadist dalam bertindak, begitu juga dalam membentuk pribadi kita dan anak-anak kita, bukan membentuk dari "anggapan" orang.

Dalam Islam memiliki kekayaan, jabatan, rumah mewah, dan segala kemewahan lainnya tidak dilarang, bahkan dianjurkan, namun satu hal yang wajib kita miliki adalah jangan sampai "tertipu" dengan semua hal tersebut. Kekayaan yang banyak sebaiknya ada sebagian besar juga dipergunakan untuk membantu sesama, rumah yang mewah sebaiknya di pergunakan untuk berbagai kegiatan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. 

Bukankah Nabi Muhammad berpesan kepada kita semua bahwa orang yang terbaik imannya adalah mereka yang paling memberikan kebaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Marilah kita muliakan hidup ini bukan berdasarkan bagaimana "anggapan" orang di masyarakat, karena belum tentu anggapan itu sesuatu kebenaran meskipun yang melakukan banyak orang, marilah kita semua hidup berdasarkan apa-apa yang sudah Nabi kita ajarkan buat kita baik tentang akidah, budi pekerti, akhlak dan sebagainya.

Memang masih terdapat perbedaan pendapat tentang bagaimana menempatkan Nabi Muhammad sebagai teladan, ada yang meniru seluruhnya termasuk bagaimana pakaiannya, jenggotnya, disamping aqidah, budi pekerti dan akhlaknya. Namun juga ada yang berpendapat meniru Nabi utamanya pada aqidahnya, akhlak dan budi pekertinya, karena menurut saudara-saudara kita ini Nabi memakai baju gamis dan berjenggot itu adalah sebagian dari culture dari warga arab pada umumnya, karena nabi palsu dan orang kafir qurais pun memakai gamis dan berjenggot.

Penulis dalam hal ini tidak mau menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai sesuatu yang wajib di bahas secara detail, penulis lebih melihat bahwa kita adalah saudara seiman dan se islam, sama-sama bersyahadat yang sama, alangkah indahnya kalau kita bisa memahami perbedaan, bersama-sama, bahu membahu membentuk masyarakat Islam yang mengedepankan persaudaraan.

Abi Izzat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar