Sabtu, 21 Januari 2012

Beternak Undur Undur : Obat Alternatif Penyakit Dalam



Cirebon Mungkin baru sedikit yang mengetahui hewan undur-undur bisa menjadi alternatif obat penyakit dalam seperti diabetes dan hipertensi.
Tapi lebih sedikit lagi yang tahu ternyata hewan kecil yang hidup liar di pasir ini bisa diternakan. Warga di Desa Pegagan Lor, Cirebon telah dua tahun mengembangbiakan undur-undur.

Uniknya undur-undur tersebut tidak diperjualbelikan, tapi dibagikan secara cuma-cuma pada warga yang memerlukan. Kotak dari styrofoam dan kayu ini bukan bak pasir mainan anak-anak.
Didalam kotak ini hidup ratusan hewan kecil mirip sejenis serangga tanah bernama undur-undur. Ya, hewan liar yang hidup dihabitat berpasir ini sengaja diternakan.

Suganda, warga Desa Pegagan Lor, Kecamatan Kapetakan, Cirebon telah dua tahun lebih berternak undur-undur. Cara beternak undur-undur cukup mudah. Cukup menyediakan kotak berisi pasir kering, lembut dan beberapa ekor bibit undur-undur didalamnya.

Hanya dalam waktu satu minggu, undur-undur akan menetakan telur disarangnya yang mirip kawah gunung. Untuk pangannya, undur-undur hanya membutuhkan serangga kecil seperti semut atau telur semut herang.
Setiap pagi kotak undur-undur harus selalu dijemur selama dua jam. Kotak-kotak ini harus terbebas dari air agar undur-undur tidak mati.

Uniknya, Suganda tidak menjual undur-undurnya. Jika ada warga yang membutuhkan, cukup datang ke rumahnya sambil membawa capsul kosong. Undur-undur dimasukkan ke capsul dan langsung diminum.

Menurut Suganda, agar tidak keracunan dosis undur-undur harus disesuaikan dengan jenis kelamin, umur, jenis penyakit dan stadium penyakit. Jika untuk menjaga stamina, cukup dengan satu kapsul sehari yang berisi tiga undur-undur.


 (Mashuri Wahid/Sup/Ijs)
READ MORE

Suku Polahi| Potret Suku Terasing di Indonesia


Suku Polahi| Potret Suku Terasing di Indonesia



Di zaman modern seperti sekarang ini ternyata masih ada kelompok masyarakat yang memiliki pola kehidupan seperti pada zaman purba. Di pedalaman hutan Boliyohato,Gorontalo hidup beberapa kelompok masyarakat nomaden yang lebih di kenal dengan sebutan Suku Polahi.
Suku Polahi ini bahkan jauh lebih tertinggal daripada suku suku yang masih dianggap primitive lainnya di Indonesia. Rata rata suku primitive yang lain setidaknya sudah mulai hidup menetap dan mulai terbuka dengan kehidupan luar.
Suku Polahi ini memiliki pola hidup berpindah pindah (Nomaden) dari satu hutan ke hutan yang lain. Mereka juga belum mengenal pakaian, agama bahkan mereka juga tak mengenal hari.
Dalam kesehariannya mereka menghabiskan seluruh waktu mereka di dalam hutan dengan hanya mengandalkan gubuk kecil beratapkan dedaunan tanpa dinding sebagai tempat peristirahatan sementara mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka biasanya berburu babi hutan. Rusa dan ular. Selain itu mereka juga mengkonsumsi dedaunan, umbi umbian dan akar rotan sebagai makanan sehari hari. Untuk memasak mereka menggunakan batang bamboo sebagai wadah. Cara memasaknya juga amat sangat sederhana yaitu dengan memasukkan semua bahan makanan kedalam lubang bambu lalu membakarnya diatas perapian hingga batang bamboo tadi retak atau pecah sebagai tanda bahwa makanan telah selesai di masak. Makanan tersebut 100% asli tanpa bumbu apapun karena mereka juga belum mengenal bumbu bumbuan.
Hal unik lainnya dari suku polahi adalah cara berpakaian. Kalau kita mengenal beberapa suku di papua menggunakan Koteka sebagai penutup aurat, maka Suku Polahi lebih memilih menggunakan cawat yang mereka buat dari daun yang diikat menggunaan tali dari kuit kayu. Cawat ini juga digunakan oleh kaum perempuan. Mereka belum mengenal penutup dada alias Bra. Jadi kaum perempuan Suku Polahi dalam kesehariannya adalah Toples alias setengah bugil.
Yang paling unik dari suku ini adalah system perkawinan. Mereka mungkin satu satunya Suku di Indonesia yang menganut perkawinan sedarah, dimana jika satu keluarga memiliki anak laki laki dan perempuan maka mereka otomatis akan di nikahkan dengan saudaranya tersebut. Jadi anak anak mereka sekaligus menjadi menantu mereka. Bahkan sang ibu bisa menikahi anak lelakinya dan sang ayah bisa menikahi anak perempuannya.
Semoga pemerintah Indonesia bisa memberikan perhatian terhadap semua Suku Terasing di negeri ini agar mereka juga bisa menikmati kehidupan modern dan mendapatkan hak hak mereka sebagai warga negara.
Sumber: dari acara primitive runaway Trans TV
READ MORE

Mengenal “ORANG TOGUTIL”, Suku Terasing di Pedalaman Pulau Halmahera

Penulis : Busranto Latif Doa

Sumber Foto :
1. Malik Abdullatif, PT. Aneka Tambang GEOMIN – Buli
2. Disbudpar Kab. Haltim
orang-suku-tugutil-halmahera-foto-disbudpar-haltim2Bila mendengar kata “TOGUTIL”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. 
Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.


Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.


Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Hal seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su’ud Sukahar dalam tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21 Agustus 2008 yang menyentil bahwa; “Enampuluh tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. 


Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera”. Walaupun mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.
Seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel-artikel pada posting sebelumnya bahwa pada zaman Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. 


Perubahan alam yang terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.
Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku Utara” juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan manusia lainnya. 


Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.
Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.
Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid (orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern seperti sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.
Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
orang-togutil-menari-cakalele-di-pedalaman-buli-halmahera-tengah-foto-oleh-malik-abdullatif-geomin-aneka-tambang-buli1

Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.


Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.


Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.
Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. 


Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.
Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, suku Sakai di Sumatera dsb.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.
MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI WASILEI
Gambaran rinci tentang pemukiman, asal-usul dan kehidupan suku Togutil di pedalaman pulau Halmahera ini sama sekali belum diketahui oleh dunia pengetahuan kita. Oleh karena itu sangatlah sukar untuk memperoleh keterangan yang terperinci dan terpercaya dari laporan-laporan yang ada tentang Halmahera tanpa melakukan sendiri penelitian di lapangan.
Walaupun demikian, pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura Ambon pernah melakukan penelitian lapangan yang bersifat Eksplorasi melalui pendekatan Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil di pedalaman Tobelo untuk mencari jawaban atas kegagalan usaha pemukiman suku terasing ini, yang laporan penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni; Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
suku-tugutil-di-buli-foto-oleh-malik-abdullatif-geomin-aneka-tambang-buli-halmaheraSaya mengutip beberapa point hasil penelitian tersebut, yang menyebutkan bahwa; Menurut hasil penelitian ini, jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :
1. Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat sebagai tempat bernaung.
2. Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah teratur (di Toboino dan Tutuling).
3. Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).
Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.
Orang Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil Dodaga (kelompok kedua dan ketiga). Setiap pertemuan antar kedua golongan ini pasti diselesaikan dengan perkelahian. Kelompok kedua dan ketiga menganggap masing-masing seketurunan atau segolongan, sedangkan kedua golongan ini sama sekali tidak mengakui orang Biri-Biri sebagai orang yang segolongan dengan mereka.
Orang Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim pada 3 lokasi yang dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar 30 km dari ibukota Kecamatan Wasilei (Lolobata). Sebagian dari mereka adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan pada tahun 1971. Ketiga lokasi tersebut adalah; Paraino, Toboino dan Tutuling seperti yang sebutkan dalam hasil penelitian di atas. Orang Togutil Dodaga berasal dari dua tempat, yaitu :


1. Daerah Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao sendiri.
2. Daerah Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.
Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Maba.
Orang-orang Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai kira-kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan penduduk lain di sekitar Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini dapat dimengerti karena mereka adalah pelarian.
Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda jaman dahulu kepada nenek moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung tidak diketahui secara pasti.
Dalam buku “De Ternate Archipel” (1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa; Pada tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting (pajak) sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929 setiap tahun ditambah dengan 0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua argument, yakni :


1. Apabila benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba    Dodaga adalah orang-orang Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya pungutan Balasting.
2. Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang melarikan diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh sebelum tahun 1927.
Dengan demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah orang-orang Tobelo (Boeng) atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat ini tidak ada satu keteranganpun yang memberi petunjuk jelas tentang perbedaan tersebut. Dan rupanya, hingga saat ini pengertian “Orang Togutil” selama ini telah dipakai untuk penamaan semua orang pengembara yang hidup di hutan pedalaman pulau Halmahera di Maluku Utara.
Para peneliti dari Universitas Patimura yang melakukan penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa adanya penolakan orang-orang Togutil Dodaga untuk menerima anggapan bahwa mereka termasuk suku bangsa Togutil dan bahklan mereka menunjuk orang lain (orang Biri-biri) sebagai orang Togutil, hal ini mungkin sesuai kenyataan bahwa mereka itu adalah orang-orang Tobelo (Boeng) yang dahulu melarikan diri ke hutan. Kenyataan ini ditunjang oleh penunjukan tempat asal mereka yaitu pada Desa-Desa asal Tobelo dan Kao yang bukan tempat kediaman suku Togutil asli.
Dengan demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku Togutil itu..? Meskipun persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat ini orang mengenal Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu; 1) Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah dan 2) Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih menggunakan pola hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.


HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL
Orang suku Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian besar berada di hutan pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung yang dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju.
Orang-orang suku Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka; terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah mereka.
Karena hutan adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan unsur magis tersebut, pohon juga bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). 


Saya mengutip beberapa catatan pada hasil Lomba YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai Simbol Kelahiran, Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan dalam www.kabarindonesia.com tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa ada beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli, Halmahera Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi lahir, maka salah satu anggota keluarga harus menanam satu pohon, yang menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga.
Hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan, dengan tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga.
Orang-orang Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan mana akan tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua orang.
Orang-orang suku Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani, sistem mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka waktu tertentu, kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan makanan masih ada, para anggota keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari makan. Mereka akan kembali melakukan pengumpulan makanan dan berburu apabila cadangan makanan hampir habis. Orang suku Togutil biasanya mendapatkan makanan langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan umbi-umbian.
Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat. Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan kelelawar.
Orang-orang suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara berkelompok, misalnya meramu sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku) dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka menangkap ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi panci penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda dirangkai jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari biasa, bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang malam hari.
wajah-orang-suku-togutilBagi orang-orang suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil tanpa anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena peranan anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm berbuiru maupun mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan disertai anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor anjing dapat menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan maupun antar kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh, keretakan hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat timbul akibat seekor anjing.
Informasi lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini amat beragam. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996) menyebutnya sebagai “Suku Togutil” yang tinggal di hutan Dodaga dan Tutuling, Kecamatan Wasile, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Menurut Ensiklopedi ini, populasi orang Togutil saat itu 600 orang. Sumber lain menyebutnya “Oho Ngana Manyawa” yang bermakna orang hutan atau orang rimba yang suka membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.
Dalam tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130 menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari lembaga Pelestarian Burung Indonesia, dan Atiti Katango, jagawana dari Taman Nasional (TN) Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke tepi Sungai Tayawi, dekat Kampung Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa Bale, mengemukakan bahwa warga Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara berceritera kepada mereka bahwa orang-orang suku Togutil itu dulu warga yang “lari pajak” (tak mau bayar pajak), jadi lari atau diusir Belanda masuk hutan. Mereka bisa ditemui pula di sekitar Desa Tutur, Tukur, Totodoku, Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan Baken. Mereka disebut Tobelo Dalam atau Tobelo Hutan, untuk membedakan dari Tobaru, Tobelo Kampung atau yang sudah ke kota.
Suku Togutil yang kita kenal hingga saat ini, suatu saat nanti siapa sangka mungkin hanya tinggal kenangan. Kini populasi suku ini semakin berkurang. Hal ini bisa saja karena kondisi kebiasaan hidup mereka yang tidak teratur yang mengakibatkan jumlah kelahiran tidak sebanding dengan kematian dari anggota suku ini. Hal lain adalah tabiat mereka yang takut melihat manusia lain dan ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan pada musim sulit sehingga pada akhirnya mempengaruhi perkembangan populasi dan reproduksi genetika mereka. Semoga suku ini tidak mengikuti jejak Suku Moro di Halmahera utara yang hilang misterius (gaib) di abad sebelumnya. Semoga saja “National Geography” berminat melakukan eksplorasi ke tempat ini……!
Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita anggap “kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua, yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang merasa diri si “beradab” ini yang harus belajar kearifan dan keramahan dari mereka. Saya yakin anda semua pasti setuju dengan ini…! (@.Busranto Abdullatif Doa)
(Original post by : @ www.busranto.blogspot.com & www.ternate.wordpress.com)
Resourches :
1. De Ternate Archipel” Serie Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
2. Mus J. Huliselan, Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
3. Majalah Ilmu-Ilmu Sastra – Indonesian Journal of Cultural Studies, Jilid VIII No.2, Edisi Nopember 1979, Penerbit Bharatara.
4. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (LP3ES, 1996).
5. Diejen-Roemen J. M. v., Uit het land waar St. Franciscus leefde. Over bewoners van Tobelo Boeeng. (Togutil, Lino, Biri-biri). Sejarah Masuknya Agama Kristen di Tobelo-Maluku Utara, 1956. p.13.
6. _________, Woordenlijst Togutil, 1958, p.11.
7. Martodirdjo H. S, Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1984, p.53.
8. _________, Organisasi Sosial Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1985, p.35.
9. Anthon Ngarbingan, Pohon Sebagai Simbol Kelahiran : Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, Lomba YPHL, 2008.
10. Christantiowati, Rachma Tri Widuri dan Atiti Katango dari lembaga Pelestarian Burung Indonesia, Togutil – Tobelo Dalam: Hutan & Sungai Rumah Kami, Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130.
11. John Sharpe & Andrew A. Snelling, Evangelization of the Togutil, March 1994,
12. Djoko Su’ud Sukahar (Pengamat Budaya), Suku Asing & Terasing, detikNews, Edisi Kamis, 21 Agustus 2008.
13. David Purmiasa & Herman Teguh (www.korantempo.com), Suku Togutil Yang Bersahaja, yang dikutip; www.halmaherautara.com, Edisi 03 Maret 2008.
14. B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate, Depdikbud, Jakarta.
15. Disbudpar Kab. Haltim (Gambar Poster)
READ MORE

Beternak Perkutut, Siapa Mau Ikut


Beternak Perkutut, Siapa Mau Ikut

Penggemar burung berkicau tentu sangat mahfum dengan nyanyian: whur ketekuk,whurr ketekuk,kuk kuk, yang merupakan suara khas tersebut dilantunkan oleh perkutut yang sedang manggung. Tapi seberapa besar nilai bisnis yang terkandung di balik budidaya perkutut, bisa jadi belum banyak orang yang tak paham. Padahal kalau ditekuni, bukan tidak mungkin nantinya jadi bisnis yang prospektif.
Dibanding ternak unggas yang lainnya, perkutut punya beberapa kelebihan. Dari segi tehnis pengelolaan, tidak rumit. Modalnya, juga tidak terlalu besar, hanya investasi awalnya (untuk membuat kandang) saja yang memakan biaya lumayan.


Modalnya tidak banyak.
Sebagai gambaran, sepasang perkutut paling banter menghabiskan biaya untuk pakan dan obat-obatan sebesar Rp15 ribu/bulan. Sementara untuk beli 5 pasang indukan butuh Rp. 500.000 – Rp. 1 juta.
Untuk pembuatan kandang berukuran 90x70x180 cmatau 120x60x180 cmyang terbuat dari kayu/bambu dan ram-raman kawat, kurang lebih menelan biaya Rp 500 ribu. Kandang tersebut cukup bagi 1 atau 2 pasang. Dalam sebulan sepasang perkutut mampu menghasilkan 2 – 8 anakan dengan harga Rp.200 ribu/pasang.
Produktivitas perkutut dapat di tingkatkan dengan menitipkan telur atau anakan ke burung puter sebagai induk semang yang baru. Dengan cara ini perkutut mampu berkembang biak sampai 3 kali/bulan. Bahkan bisa ditingkatkan menjadi seminggu asal induknya diberi vitamin serta pakan yang berkualitas.


Tak sulit membudidayakannya

Secara tehnis beternak perkutut terbilang mudah. Dalam sangkar kecil seukuran kandang soliter (45x45x65 cm3) sudah bisa. Apalagi disangkar yang lebih besar. Kelebihan perkutut terutama karena mudah dan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru didalam sangkar.
Disamping itu, perkutut tidak gampang stress, jarang terkena penyakit, pakan melimpah dan murah. Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah pemeliharaan, kebersihan lingkungan, sangkar, minuman dan makan.
Agar hasil anakan sesuai dengan harapan, ada baiknya lebih dulu mempelajari tehnik perkawinan atau crossing.Tehnik ini perlu dilakukan secara berulang hingga mencapai anakan yang berkualitas. Ujung-ujungnya tentu saja duit. Makin baik mutunya, makin tinggi harganya.


Membidik pasar potensial

Sejauh ini pasar perkutut masih terbuka luas. Menurut perhitungan rasional, bila 10% dari 210 juta penduduk di Indonesia hobi memelihara burung, itu jumlahnya sama dengan 21 juta, taruhlah yang senang sama perkutut cuma 3 % atau 7 juta orang. Bila setiap orang ingin memiki 3 ekor, tinggal dihitung berapa kebutuhan perkutut di Indonesia.
Berdasarkan catatan Persatuan Pelestari Perkutut se Indonesia (P3SI), jumlah peternak saat ini ada 5 ribuan dengan 50 ribu kandang, sedangkan produksi per tahun baru sekitar 500 ribu ekor. Bila diambil rata-rata, setiap peternak menghasilkan 4.400 ekor senilai Rp 220 juta.


Segmen Pasar Perkutut

Singkat kata, kisaran harga perkutut memang bervariasi. Namun secara umum ada 5 segmen :



Pertama, segmen pasar yang menekankan perkutut untuk kepentingan lomba, konkurs atau sejenisnya.Segmen ini tentu membutuhkan perkutut yang berkualitas baik, sesuai aturan main yang ditetapkan P3SI. Tak heran bila perkutut yang didambakannya seharga ratusan juta rupiah.



Kedua, Segmen pasar yang menekankan pada sisi peternaknya. Bagi masyarakat peternak perkutut yang di pentingkan adalah kemampuan memproduksi anakannya secara optimal dengan suara dan irama anggungan yang baik dengan demikian harganya pun juga tinggi.



Ketiga, Yang mungkin dijangkau masyarakat penggemar perkutut. Segmen ini lebih menekankan unsur gengsi. Jadi, yang lebih menjadikan pertimbangan utama adalah irama yang disukai pemiliknya. Pada segmen ini perkutut akan bernilai jutaan samapai puluhan juta.



Keempat, Orientaisnya pada katuranggan. Pemilik meyakini bahwa perkutut dapat membuat pemiliknya memperoleh kebahagiaan, ketentraman hidup dan rezeki melimpah atau tanda-tanda baik lainnya. Masyarakat yang mengetahui bahwa katurangga perkutut yang akan dipelihara bakal mendatangkan kebaikan tentu akan membelinya dengan haraga berapapun.
Kelima, banyak orang yang memiliki perkutut dengan pertimbangan unik dan exotis. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini akan mampu menghargai perkutut sampai juataan rupiah. Yusroni Hendridewanto (kiriman Anthan Warsita, Surabaya).


Analisis Keuntungan Usaha Ternak perkutut

  1. Investasi
  • Pembuatan Kandang Rp. 500.000
  1. Biaya lancar

  • Induk 5 pasang @ Rp 200.000 Rp. 1.000.000
  • Pakan 5x Rp. 2.000 Rp. 10.000 - Obat dan Vitamin Rp. 5.000
  • Total Biaya Lancar Rp. 1.015.000
  1. Pendapatan
  • Bila setiap induk mampu menetaskan 2 piyik, produksi anakan :
  • 5 x 2 x Rp.200.000 Rp 2.000.000
  1. Keuntungan (C - B) :
  • Rp 2.000.000 – Rp 1.015.000 = Rp 985.000




Analisis Keuntungan Usaha Ternak Perkutut Dengan Pengeraman Induk dan Jasa Puter

  1. Investasi

  • Pembuatan kandang dan penyusutan 10 % tahun Rp 1.822.500
  • Pembelian 50 pasang induk @ Rp 200.000 Rp 10.000.000
  • Total Investasi Rp 11.822.500

  1. Biaya lancar

  • Pakan perkutut Rp2000/bulan/ pasang, setahun Rp 1.200.000
  • Pakan puter Rp3000/bulan/ pasang setahun (sepasang perkutut butuh 2 pasang puter) Rp 3.600.000
  • Vitamin dan obat-obatan Rp 50.000 /bulan, setahun Rp 1.200.000

  1. Pendapatan

  • Induk langsung pertahun menetas 8 kali harga anakan 10 % dari induk = Rp. 1.000.000 x 8 Rp 8.000.000
  • Menggunakan jasa puter pertahun menetas 24 kali harga anakan 10 % dari induk = Rp 1.000.000 x 24 /tahun Rp24.000.000

  • Keuntungan Pertahun (C – B)

    • Induk langsung = Rp 8.000.000 – (Rp 1.200.000 + 1.200.000) = Rp 5.600.000
    • Menggunakan jasa puter = Rp 24.000.000 – (Rp 3.600.000 + 1.200.000) Rp 19.200.000

    Memilih perkutut bisa dimulai dari piyikan/anakan. Bisa juga yang sudah dewasa. Berikut ini adalah tips memilih perkutut yang baik :

    • Sehat, aktivitasnya lincah, fisik baik, tegas, gagah , bulu-bulunya halus dan teratur rapi.
    • Tatapan mata tajam tetapi lembut, mata bulat dan bersih, paruh agak lurus normal, kaki warnanya terang.
    • Nafsu makannya normal – aktif.
    • Suaranya minimal normal atau suara yang memenuhi kriteria yang biasa di sukai penggemar. Lebih bagus sesuai ketentuan P3SI.
    • Tahu persis silsilah atau garis keturunan. Ini dimaksud untuk mengetahui mutu nenek moyang perkutut yang akan di ternakan.



    Bila dikaitkan dengan konkurs/lomba atas dasar penilaian suara, ikuti kriteria versi P3SI.

    • Suara depan, dengan ketentuan panjang, mengayun/membat dan bersih.
    • Suara tengah, dengan kriteria bertekanan , lengkap dan jelas.
    • Irama, dengan ketentuan senggang, lenggang, elok dan indah.
    • Dasar suara(air sungai/lantar suara), dengan kriteria tebal, kering bersih dan jernih.



    Prinsip Beternak Perkutut dan Pemasaran

    1. Pilih yang baik dan sehat, baik jantan maupun betina.

    2. Mempersiapkan kandang, perpasang bisa seukuran 80x80x80 cm atau 60x120x180 cm. Beratap, terlindung dari hujan dan angin posisi tidak terisolir tetapi tenang suasananya.

    3. Melakukan mendekatkan induk jantan dan betina untuk penjodohan . Umur yang jantan paling tidak 12 bulan dan betinanya 10 bulan.

    4. Pakan tersedia secara cukup seperti jewawut, milet, biji kenari, ketan hitam, beras merah, gabah mini, pakan ayam 521, dan vitamin.

    5. Pada saat mengeram (telur 2 butir), induk tidak boleh diganggu, biarkan suasananya tenang. Telur bisa dititipkan ke burung puter.

    6. Anakan akan menetas selama 14 hari dierami dan piyik akan diasuh induknya selama 25 hari. Pada umur itu, piyik sudah dapat dipisahkan dan dipindahkan ke sangkar perawatan.

    7. Melakukan silang menyilang dengan kerabat bisa dilakukan untuk mendapatkan mutu perkutut yang digemari para hobiis dan memiliki nilai jual yang tinggi.

    8. Piyik dalam pemeliharaan pada segala umur laku dipasaran.

    9. Sistem pemasaran berlangsung secara tradisional, dari mulut ke mulut, secara profesional dan menggunakan cara-cara pemasaran modern.

    10. Kemungkinan ekspor dalam jangka panajang, sangat terbuka luas anatara lain ke Thailand, (walaupun saat ini kita masih import), singapura, malaysia, Filipina, Suriname (50 % penduduknya dari jawa) dan lain-lainnya.


    Mengenal lebih Jauh Tentang Perkutut
    • Perkutut yang selama ini dikenal adalah perkutut lokal dan perkutut Bangkok. Walau – pun asalnya dari Bangkok, sebenarnya sama saja dengan perkutut Indonesia.

    • Pakan utama perkutut adalah biji-bijian, rumput dan padi-padian. Diperternakan tak jarang diberikan beras merah, milet, butiran jagung, campur makanan pabrik dengan kandungan protein tinggi, ditambah vit dan mineral pada makanan atau minumannya.

    • Musim kawinnya terjadi pada bulan April- Juni Sarangnya berbentuk mangkuk dan cekung, bertelur 2 butir. Telur akan dierami perkutut jantan maupun betina. Masa pengeraman 14 hari.


    READ MORE