Senin, 16 April 2012

Kenapa Kamu Galau ?


Oleh bidadari_Azzam
Di ujung negeri antah berantah
Maupun di benua biru bersalju
Kutemukan sebuah kelucuan kata
Entah remaja maupun orang dewasa menyebut makna “Galau”
Seorang saudariku bercerita bahwa tatkala keluarga kami mudik ke Indonesia beberapa minggu lalu, dia berkenalan dengan seorang muslim dari negara tetangga via jejaring sosialnya. Namun pembicaraan mereka yang telah serius segera membuahkan hasil ‘dadakan’, yaitu mereka akan bertemu di Krakow dan membicarakan pernikahan. Sebut saja Muslimah, sisterku ini begitu bersemangat kalau bercerita tentang ragam kisah cintanya di usia remaja. Singkat kata, “Sister, I have invited him, jadi si brother ini datang ke Krakow, dan menginap di rumah orang tuaku…”, ujar sister Muslimah padaku. “Invite” disini tentunya berarti mensponsori visa si pendatang dan harus mendukung urusan “hidup si pendatang ketika disini”.
Beberapa hari berlalu, si brother mengajak sister untuk berkunjung ke flat seorang wanita Poland, sebut saja si wanita ini Halina. Muslimah bertemu dengan Halina dan ikut berbincang-bincang. Beberapa menit selanjutnya, datanglah seorang bocah imut, bayi laki-laki yang lucu yang belum genap berusia dua tahun menuju Halina. Hati Muslimah mulai bertanya-tanya, apalagi dilihatnya bahwa brother tersebut lebih akrab dengan Halina, dan dalam momen lanjutannya ia bahkan hampir pingsan melihat brother itu mencium Halina.

“Ooooh, My God!!! Ternyata si brother bilang ke Halina bahwa saya adalah ‘sister in Islam’, hanya itu! Dan Ketika saya tanya kepada Halina, “who are you?”, jawabannya membuat muka saya merah dan ingin berteriak sekencang-kencangnya namun saya tahan! Halina itu adalah wanita Poland yang merupakan istri (dengan nikah siri) dari si brother. Dan beberapa waktu lalu, brother itu harus pulang ke tanah airnya karena kehabisan visa, maka ia harus meninggalkan istri dan anaknya yang baru berusia sebulan. Kacau…. Kacau… hati saya pun jadi kacau, dan galau….”, bernada emosi, ia ceritakan padaku kegalauan itu. “Boro-boro ia datang padaku untuk membicarakan pernikahan, jelas-jelas ia sedang kangen pada bayinya dan sudah beristri dengan Halina itu!”, sambungnya. Yah, banyak kejadian serupa terjadi di Eropa secara umum, menimpa saudari muallaf kita, mayoritas kasusnya adalah ‘urusan visa’. Seperti si brother (suami Halina tersebut), ia memperalat sister Muslimah karena kesulitan berkomunikasi dengan Halina, sedangkan (menurutnya) ia rindu pada bayinya.

Pengalaman buruk sister lain yang diketahui Muslimah pun membuatnya jadi tambah galau, ia bilang, “Dan masya Allah… sister Ummu Azzam, I have heard that sist Fulanah has divorced! Dan sist Layla dipukuli suaminya! Ya Allah… Mungkin saya memang gak akan punya suami, pusing! Laki-laki egois semua yah?!”, ujarnya, “Hehehehe…. Sisters lain banyak lho yang punya suami sholeh dan baik hati, termasuk saya….”, kalimatku mengingatkannya pada Abu Azzam. Ia jadi tersenyum meskipun agak terpaksa, senyum yang kurang optimis, “Iya… kamu beruntung. Suamimu ‘egois’ untuk hal yang tak mengizinkan istri bekerja di luar rumah tetapi memang memenuhi semua kebutuhan keluarga dengan baik, dan kamu memang istri yang taat suami, sister, sampai saya terkagum-kagum melihat anak-anakmu yang sopan dan ceria, subhanalloh… Hmmmm, tapi ini karena suamimu adalah muslim yang baik dan kamu memang muslimah yang baik…. Aaaah, kapan sih bisa ketemu yang kayak suamimu???”, ia curhat seraya menarik kesimpulan sendiri.
Kupegang tangannya yang tampak tegang, ah jadi teringat, sepuluh tahun yang lalu, mungkin kalau saya curhat di depan seniorku, seperti itulah emosi diri ini, demikian pikirku. Betapa berbeda emosional diri remaja belasan tahun hingga usia menginjak dua puluh dua, Alhamdulillah ternyata diriku kini telah melalu usia “ekstra waspada” itu dengan selamat sentosa dalam mahligai indah perlindungan terbaik-Nya.
“Hmmmm…dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula), that’s surah An-Nuur, sist….Subhanalloh, kamu sudah berhasil menyimpulkan sendiri permasalahanmu…iya khan?”, kukedipkan mata padanya. Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Tata hidup agar sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh, jadilah wanita yang sholehah. Jangan sampai tergoda untuk belajar dari tontonan bejat yang menampilkan adu domba dan fitnah agar bisa meraih impian bersuami atau beristrikan pasangan yang berharta segunung dengan omset bermilyar dollar dalam bisnisnya, dan ujungnya bisa berbulan madu di kapal pesiar mewah---tanpa diketahui pihak jelata bahwa kesenangan itu diraih dari tindakan haram korupsi dan kolusi, yang sesungguhnya akan berujung ‘sad-ending’ di yaumil hisab. Naudzubillahi minzaliik. Semoga Allah melimpahkan hal terbaik buat kita. Maka kita optimalkan ikhtiar dengan memperbaiki diri, meluruskan cita-cita dan niat, pembersihan hati setiap saat, insya Allah di waktu yang tepat, sosok yang tepat itu datang dengan suasana yang paling baik pula, Aamin.
Kulanjutkan dengan kalimat tanya, “Sister yakin ingin menikah saat ini?”, (sambil mikir-mikir, ada banyak ikhwan Indonesia nih yang “nitip salam kenal”, hehehe). Sisterku itu yang memang lagi galau, menjawab pun galau, “Nikahnya nanti sist, maksudku…. Saya mau fokus kuliah dulu, nungguin kuliah selesai, kan saya juga mau ber-relationshipseperti teman lainnya….”, jawabnya. Naah, kalau memang sedang sibuk dan fokus kuliah, dinikmati aja!
“Dear…. Kalau gitu, fokusin saja kuliah kamu. Nanti kalau kamu memang benar-benar siap mau menikah, muslim sholeh terbaik yang merupakan jodoh dari-Nya pasti akan hadir. Sekarang dia belum datang di hadapanmu, karena memang kamunya belum siap, kan sist?! Gak usah mikirin suami si anu yang menceraikan istrinya, suami si itu yang memukuli istrinya, dan sebagainya, pokoknya gak perlu galau, cukuplah kamu isi aktivitas bermanfaat di hari ini, masa mendatang adalah misteri-Nya bukan untuk menyebabkan pikiran galau…hehehe”, kalimatku mungkin tak terlalu didengarkannya, sisterku masih cemberut alias manyun, lingkungan pergaulan memang sangat mempengaruhi seseorang, kalau menjadi ‘jomblo’ sementara semua teman berpacaran, maka yang menjombloitu agak minder, kemungkinan besar seperti itulah perasaan saudariku ini.
Di sisi lain, sosok Zayhana sedang resah dan galau pula, ia sedang berduka, perceraian tak terelakkan, belum genap setahun pernikahannya sehingga saudari lainnya bertanya seraya mengurut dada, “What’s wrong, dear?”. Ternyata “penipuan masalah visa” terjadi lagi (dan memang masih terus-menerus terjadi). Satu hari di hari H pernikahan Zayhana, suaminya baru berkata jujur bahwa sesungguhnya ia sudah menikahi wanita lain karena terdesak urusan visa beberapa waktu lalu, namun ‘istri pertama’nya itu akan diceraikannya karena memang mereka melakukan pernikahan demi selesainya prosedur visa tersebut, tak ada hubungan suami-istri, tak tinggal serumah, dan sejenisnya. Zayhana merasa sakit hati dan kesal sekali, kami yang mendengar hal itu pun turut terkejut, astaghfirrulloh…Alangkah beraninya pemuda itu mempermainkan lembaga suci pernikahan demi kepentingan pribadi atas selembar visa Eropa!
Namun belum sempat urun saran membukakan pikiran Zayhana yang masih sangat muda itu, sisters lainnya tak dapat berbuat apa-apa ketika Zayhana memutuskan untuk langsung bercerai dengan sang suami, bahkan dengan cepat ia telah berkenalan akrab kembali dengan pemuda muslim dari negara lain dan menanti berakhirnya masa‘iddah untuk segera menikah. Kemudian, calon suami kedua tersebut memiliki problem dalam keluarga besarnya, Zayhana yang baru resmi bercerai pun menjadi kembali galau. Dan ajang silaturrahim pun bisa dijadikan ajang curhat tanpa solusi, ngobrol ngalor-ngidul tentang ‘pangeran idaman’, padahal tuan rumah biasanya menginginkan momen pendekatan yang lebih akrab di antara saudari muslimah ketika mengundang untuk bersilaturrahim. Yah, kegalauan yang kian meresahkan hati itu biasanya berimbas pada hubungan pertemanan, ‘jeleknya mood’ dalam beraktivitas, bahkan menurunkan potensi dan kreativitas.
“Maafkan saya sister, hanya dapat menjadi pendengar yang baik, atau kurang baik malah, sebab anak-anakku yang sibuk bermain atau sesekali rewel di dekat kita terkadang menyebabkan pembicaraan menjadi kurang jelas. Namun saya yakin bahwa sekarang kamu lebih lega dan punya ide pribadi agar problemmu segera selesai. Yang Paling Setia mendengarkan keluhan dan kegelisahanmu adalah Allah, sist… tanyakan pada-NYA, yakin deh, pasti galau itu lenyap disiram air wudhu…sabar dan sholat adalah penolong buat hamba-Nya yang beriman…”, kalimat itu sering kuucapkan pada saudariku di Krakow yang tengah resah dan galau. Satu hal yang kukagumi ketika sisters tersebut tengah dilanda masalah dalam kegalauan yang amat sangat, ternyata yang mereka cari adalah saudari (muslimahnya), atau menuju masjid, atau bertanya tentang jadwal silaturrahim dalam waktu dekat agar tidak makin stress menghadapi kenikmatan ujian hidup, berbeda dengan teman-teman yang bukan muslim yang mengalihkan permasalahan dengan meminum pil penenang atau bermabuk-mabukan dengan berbagai jenis minuman keras meskipun jika dianalisa, perkara yang dihadapi amatlah sepele.
Bagaimana dengan saudara-saudari di Indonesia?
Kenapa kamu galau dengan beberapa hentakan di atas bumi-Nya
Sedangkan kita hanya menumpang tinggal sebentar saja
Mungkin tulus ikhlas dalam nurani harus kita analisa lagi
Dan kekuatan hubungan dengan-Nya harus kian kita kencangkan
Serta lembaran cerita persahabatan tetap teruntai sejati
Tiada galau dan resah dalam kamus optimis pemuda islam
Semangat meraih cita dan tetaplah optimis pada pertolongan Ilahi
Wallohu’alam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar